Ada banyak
sumber yang menjelaskan tentang asal usul sejarah suku Anak Dalam diantaranya
sumber dari Muchlas (1975) yang menelusuri asal usul Anak Dalam. Muchlas
menyatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari sejumlah cerita/atau hikayat
yang dituturkan secara lisan dan berkembang di provinsi Jambi. Beberapa
cerita/hikayat itu adalah Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam
(Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita
Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar
dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Kesimpulan Muchlas dari cerita/hikayat
tersebut adalah Anak Dalam berasal dari tiga keturunan yaitu:
Keturunan
dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
Keturunan
dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
Keturunan
dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
Lebih jauh
Muchlas mengatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari cerita tentang
perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, pihak pasukan Jambi
yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang. Raden Perang
adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam
dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah
Belanda yang membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut Orang
Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).
Beberapa
sumber lain yang membahas mengenai sejarah asal usul Anak Dalam yaitu disertasi
Muntholib Soetomo yang memaparkan bahwa ada seorang yang gagah berani
bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah gelumpang dan dibawa
kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang itu dibungkus dengan
kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah menjadi seorang
putri yang cantik. Putri itu mengajak kimpoi Bujang Perantau, namun Bujang
Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang mengawinkan mereka. Putri tersebut
berkata: “Potonglah sebatang kayu bayur dan kupas kulitnya kemudian
lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya dari ujung. Kalau kita
dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita sudah kawin”.
Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya,
kemudian keduanya menjadi suami isteri.
Dari hasil
perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal,
Putri Gading, Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang Malapangi, anak tertua yang
bertindak sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak sebagai anak
bungsu atau disebut juga ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat
kampung dan masuk Islam. Keduanya menjadi orang Terang. Putri Selaras Pinang
Masak menetap di Seregam Tembesi sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung
pertama di sekitar sungai Makekal pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang
Tilan, ke tiga di Cempedak Emas, ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau
Sundai, dan kampong terakhir di Tanah Garo sekarang.
Hal inilah
membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi sebagai Jenang
(orang yang dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh orang lain, selain
orang Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan
berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang akan berhubungan dengan
orang Rimba). Jenang yang paling berpengaruh dijadikan rajo (raja), dan segala
urusan antara orang Rimba dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka dan
raja-nya.
Selain itu
berdasarkan Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56, secara
mitologi, suku Anak Dalam masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar
Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka,
yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat
tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara
Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan
Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan
mereka hijrah tidak diketahui lagi yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat
berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan
Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan
sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di
wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai
anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut
dengan Tunggul Mangris.
Menurut
Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal
usul Suku Anak Dalam yaitu: Sejak Tasun 1624, Kesultanan Palembang dan Kerajaan
Jambi yang sebenarnya masih satu rumpun memang terus menerus bersitegang dan
pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan
mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk
fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati
belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning
dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini
keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi
berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras
wedoid (campuran wedda dan negrito)
Hingga tahun
2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang
mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun
sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana
nenek moyang dahulu. Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga
tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir,
Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran
anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai
Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten
Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak,
dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati
Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak
dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum
rimba. Mereka menyebutnya seloka adat. Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam
ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai
Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan
Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak
sungai yang ada di dekat permukiman mereka.
No comments:
Post a Comment